Setiap tanggal 30 Maret, diperingati sebagai hari Film Nasional oleh insane perfilam di Indonesia. Sebuah momentum yang kerap digunakna untuk menjadi penanda akan eksistensi perfilman Indonesia. Kenapa tanggal ini yang dijadikan sebagai hari Film Nasional? Karena pada tanggak inilah syuting hari pertama film Darah dan Doa karya Usmar Ismail produksi perdana Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikannya pada tahun 1950. Sebenarnya ini bukanlah karya pertama dari Usmar, karena sebelumnya dia telah menyutradarai Film Kredit Harta Karun (1949) dan Tjitra di tahun yang sama.
Darah dan doa pun bukan film nasional pertama, karean semenjak 1926 sudah ada sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi NV Java Film Company. Nah yang jadi pertanyaan kenapa Darah dan Doa yang menjadi tolak ukurnya? Hal ini disebabkan Darah dan Doa lah yang berani mengusut tema yang revolusi fisik bangsa Indonesia dan mampu menghadirkan cita rasa aray representasi nasionalisme sehingga dianggap layak menjadi penanda kelahiran film nasional.
Banyaknya film-film yang bermunculan sekarang ini, menjadi tolak ukur kebangkitan perfilman Indonesia bagi kebanyakan orang. Namun, di satu sisi kita memabg patut mengapresiasi fenomena tersebut. Paling tidak, telah banyak generasi baru sineas yang muncul dan menelurkan karya. Seperti Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Reza, Nia Dinata, Rizal Mantovani, Rudi Soedjarwo, Hanung Bramantyo, dan sederet nama lain dengan berbagai pilihan genre yang menjadi identitas mereka.
Tetapi hal ini jangan membuat kita semakin terlena dengan maraknya film nasional ini, sehingga kita lengah untuk menjaga konsistensu. Dunia perfilman kita bangkit dan hanya bertahan lima atau maksimal sepuluh tahun. Setelah itu kembali tersungkur bahkan pernah mencapai titik nadir. Sekedar menginggatkan, pada 1941 tercatat ada sekitar 41 judul film nasional. Namun, hal ini tidak bertahan lama, karena sejak 1942-1950 perfilman Indonesia mengalami masa paceklik. Pada tahun 1955 tercatat ada sekitar 65 judul film dan gairah timbul menggelegak beriringan dengan diselenggarakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali.
Sepuluh tahun kemudian, dunia perfilman kita kembali terpuruk bahkan bisa dikatkan mati suri berbarengan dengan kriri politik yang melanda negeri ini. Era 70-an sampai 80-an film kita kembali mengalami grafik peninggatan, hal ini dikarenakan banyak bermunculan film-film bertemakan seks. Dan pasca itu, lagi-lagi dunia perfilman kita terpuruk dan tertidur lelap dan baru terbangunakan oleh gelombang deras era digital di tahun 1990-an.
Diawali dari tahun inilah, industry perfilman kita mulai timbul dan tenggelam. Banyak hal yang menyebabkan perfilman Indonesia memiliki grafik yang naik turun, salah satunya munculnya era reformasi menjadi penyebab muncul dan tenggelamnya perfilman Indonesia. Namun para sineas muda Indonesia tidak kehilangan akal untuk memunculkan kembali perfilman Indonesia. MUnculna tema-tema baru dan dengan penggarapan yang bagus membuat perfilman Indonesia bangkit kembali.
Sayangnya, semakin kesininya tema yang ditawarkan para sineas tersebut hampir memiliki genre film yang serupa. Genre film apa yang banyak menyedot perhatian penonton, genre itulah yang banyak diproduksi. Dari hal ini kita melihat banyak terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas film zaman dahulu dengan zaman sekarang.Seorang pengamat film Indonesia, John, mengungkapkan kegelisahannya mengenai fenomena tersebut.
“Apabila dibandingkan kualitas film antara zaman dahulu dengan zaman sekarang, kita akan melihat perbedaan yang mencolok dari proses pembuatan film tersebut”. Ujarnya.
Apabila ditelisik lebih lanjut, sebenarnya fenomena perkembangan perfilman Indonesia ini hanya merupakan suatu euphoria bagi para sineas maupun masyarakat. Kemudian jufa ketidakberagaman jenis film yang ditawarkan membuat film indonesia masih belum bisa bersaing dengan film-film luar.
Namun dibalik itu semua Indonesia tergolong mempunyai musikalitas yang tinggi, terbukti dengan adanya pencipta-pencipta lagu yang kerap mengisi soundtrack film yang memang memiliki kualitas tinggi di dunia music, seperti Melly Goeslaw.
Selain itu menurut Azis, seorang scriptwriter serta sutradara sinetron, perfilman Indonesia belum menampakan kemajuan yang signifikan. Dari segi kualitam bila dipandang dari perfilamn zaman sekarang, belum bisa belajar dari kualitas zaman dahulu. Yang mana, film-film di era 80-an lebih unggul dari segi kualitas.
Tema-tema perfilman Indonesia sebenarnya sangat beragam, namun semua itu belum terekspos dengan baik. Hal ini terjadi karena di Indonesoa belum menganggap bahwa film itu adalah sesuatu yang dapat mengilhami masyarakat. Sejauh ini film hanya dipandang sebagai suatu kemasan yang hanya perlu dijual saja.
Padahal sebenarnya, selain memiliki unsure sebagai media hiburan, film disini juga berfungsi sebagi media pendidikan dan sebagai media yang dapat mengilhami masyarakat ke depannya. Maka untuk itu juga, diperlukan suatu akses film yang harus diperluas, sehingga perfilman Indonesia kita lebih dikenal dan dianggap penting oleh masyarakat.
Posting Komentar