Bicara tentang film , rasanya tidak lengkap kalu belum bicara bioskop. Bebeda dengan menonton film lewat alat pemutar cakram (DVD/VCD), bagi sebagian orang menonoton di bioskop punya keasikan tersendiri.Bagi penikmat film sejati, belum lengkap rasanya menonton bila tidak di bioskop. Layar yang lebar serta suara yang menggelegar, membuat orang bisa lebih menghayati isi cerita. Tak jarang, bioskop juga dijadikan ajang berpacaran. Ingat adegan klasik waktu sang laki-laki dan perempuan perlahan berpegangan tangan sambil berpegangan tangan sambil berpura-pura fokus menonton film? Atau waktu menonton film horor ketika sang perempuan ketakutan dan langsung mendekap laki-laki? Wah! karena itu, keberadaan gedung bioskop jadt bagian yang tidak terpisahkan dari dunia film.
Di Bandung sendiri, gedung bioskop sudah lama dikenal sejak masa kolonial Belanda. Pada tahun 1907, berdiri dua bioskop di alun-alun Bandung yaitu “de Crown Bioscoop” dan “Oranje Bioscoop”. Keduanya milik orang Belanda. Pada masa ini bioskop masih dalam bentuk tenda semipermanen.
Sudarsono Katam dan Lulus Abadi dalam Alboem Bandoeng Tempo Doeloe menyebutkan, bioskop-bioskop ini hanya diperuntukkan bagi orang Belanda. Kalaupun ada pribumi, hanya bagi keturunan bangsawan. Sedangkan pribumi asli, hanya bisa menonton di bioskop kelas tiga yang biasa disebut bioskop “misbar” (gerimis bubar).
Peralihan bentuk bioskop dari tenda semipermanen ke gedung permanen terjadi pada 1920-an. Sejak tahun tersebut hingga 1970-an, bioskop makin menjamur di Bandung. Bahkan kawasan alun-alun Bandung sempat jadi kompleks gedung bioskop. Sebut saja Bioskop Elita (Puspita), Aneka (Oriental), Pistren (Nusantara, Varia), serta Dian (Radio City) berada di wilayah itu.
Didi Wijaya (82), penjaga kios di bekas Bioskop Dian mengaku, ia sudah berjualan sejak bioskop Dian dibuka. Di usianya yang sudah lanjut, ia masih dapat mengingat tahun dibangunnya Bioskop Dian yaitu 1945.
“Dulu, alun-alun jadi tempat favorit orang Belanda untuk jalan-jalan dan berkumpul. Makanya, di situ banyak dibangun gedung bioskop,” ujar Didi.
Namun, gedung bioskop pun banyak dibangun di daerah lain. Seperti bioskop Concordia di Braga yang berganti nama menjadi Majestic dan Dewi. “Deca Bioscoop” di Banceuy. Ada juga Bioskop Preanger (Orion, Luxor, Nirmala) di Kebon Jati. Serta Bioskop Al-Hambra di Suniaraja.
Sekretaris Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) Dadan Nugraha mengatakan, banyaknya bioskop yang dibangun di Bandung akibat rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada masa kolonial) dari Batavia ke Bandung.
“Untuk sebuah tempat yang akan dijadikan ibu kota, otomatis segala infrastruktur yang vital harus dipersiapkan. Seperti gedung pemerintahan, bank, kantor pertahanan, termasuk pusat-pusat hiburan,” tambah Dadan.
Bioskop Bandung pada saat itu berada di masa kejayaannya. Gedung yang megah dengan arsitektur yang khas, serta peralatan yang mutakhir, membuat bioskop Bandung dinobatkan sebagai bioskop terbaik di Indonesia.
Sayangnya, masa-masa kejayaan gedung bioskop Bandung telah berakhir. Gedung-gedung tersebut perlahan-lahan ditinggalkan penonton. Saat ini, banyak dari bioskop tua tersebut yang dihancurkan, beralih fungsi, bahkan terbengkalai.
Lihat saja gedung Bioskop Elita, Aneka, dan Pistren di alun-alun Timur, telah dihancurkan dan dibangun gedung perbelanjaan Palaguna Nusantara. Bioskop Dian beralih fungsi menjadi tempat futsal. Begitu juga bioskop Majestic di Braga yang sempat menjadi gedung AACC (Asia Africa Culture Center).
Tidak banyak bioskop tua yang dapat bertahan dan masih berfungsi sebagai tempat menonton film. Itu pun rata-rata memutar film India. Kalau pun ada film Indonesia, paling-paling film “syur” tempo dulu.
Bioskop Taman Hiburan di Cicadas, cukup beruntung karena bisa bertahan cukup lama dan bisa memutar film-film baru. Namun entah kenapa, sekitar tahun 2006 bioskop tersebut tutup dan saat ini kondisinya terbengkalai.
Tentang perlindungan gedung-gedung tua, ujar Dadan, sebenarnya sudah dilindungi lewat Undang-undang th.1992 tentang cagar budaya. Dalam UU tersebut, kewajiban pemeliharaan benda cagar budaya berada di tangan pemilik –baik pemerintah, swasta, ataupun sipil.
“Pemanfaatan bangunan pun tidak boleh sembarangan. Apabila ingin merenovasi atau mengalihfungsikan bangunan, ada aturan-aturan tertentu. Tapi sayang, nampaknya aturan itu belum sepenuhnya berjalan,” kata Dadan.
Ya, bentuk bioskop masa kini sudah tidak dapat dikenali dari gedung-gedung yang berdiri megah. Saat ini bioskop lazim dijumpai sebagai bagian dari bangunan pusat perbelanjaan. Maka keasyikan pergi ke gedung bioskop khusus untuk menonton film pun tak ada lagi.
Posting Komentar