Cinema Fever

about ME

Name: Cinema_Fever
Home: bandung, jabar, Indonesia
About Me: ini merupakanan sebuah media yang menjadi sarana dan pusat informasi mengenai film-film yang ada di dunia ini pada umumnya dan film-film indonesia pada khususnya..

See my profile...

My Friends Blog
  • rocket life style
  • artmosphere
  • actum communication
  • eksentrik artistik
  • kamera kemari
  • popcorn
  • EVERY BODY LOVE PET
  • Fenomenaus!
  • sex education for teenagerss...!
Archives
  • April 2009
  • Mei 2009
  • Juni 2009
Previous entries
  • Merantau Movie, Film yang Menganggkat Kebudayaan I...
  • Nicole Kidman, the Queen of Movie
  • Movie For Change
  • Bioskop Jaman Baheula
  • Pasang Surut Perfilman Indonesia
  • Deddy Mizwar, sang aktor legendaris
  • Harry Potter and The Half Blood Prince... coming s...
  • Cisco IP Interoperability Collaboration System (IP...
  • Internet Media Massa Apa Bukan?!

Designed By

Merantau Movie, Film yang Menganggkat Kebudayaan Indonesia
Jumat, 05 Juni 2009

Akhir-akhir ini, film yang beredar di Indonesia selalu bergenre sama, sex komedi, drama percintaan, dan yang paling banyak adalah horror yang dibumbui oleh adegan-adegan tak senonoh. Tentunya tanyangan-tanyangan seperti ini akan membuat para penikmat film di Indonesia merasa bosan dengan tayangan yang monoton saja.

Namun, sekarang sudah ada film Indonesia bergenre baru yaitu action drama. Film ini berjudul “Merantau”. Dibintangi oleh aktris kawakan Christine Hakim (Wulan) dan Aktor pendatang baru Iko Uwais (Yuda) sebagai pemeran utama. Bercerita tentang Yuda, seorang pemuda asal Minang yang harus menjalani tradisi merantau ke kota Jakarta yang keras, kejam dan dingin meski hanya berbekalken hitam dan putihnya ilmu Silat Harimau yang telah dikuasainya.

Film ini merupakan garapan sutradara asing Gareth Evans. Dia merupakan sutradara berkebangsaan Inggris yang tertarik terhadap Silat di Indonesia. Dia dulunya pernah membuat film documenter untuk Cristine Hakim Film mengenai silat di Indonesia yang berjudul "The Mystic Arts of Indonesia: Pencak Silat".

Film yang rencana akan release tanggal 6 Agustus ini diharapkan dapat menembus pasar perfilman international. Makanya doakan saja film ini dapat menembus pasar Indonesia, dan sekaligus memperkenalkan pada dunia bahwa pencak silat asli kebudyaaan dari Indonesia bukan dari Negara lain…

Pokoknya semua harus nonton film yang satu ini!

Sumber:

http://www.lintasberita.com/Hiburan/MERANTAU_THE_MOVIE_MENGANGKAT_SILAT__KEDUNIA_INTERNASIONAL

http://www.beyondhollywood.com/indonesias-version-of-tony-jaa-busts-heads-and-bones-in-merantau/

www.merantau-movie.com

Label: coming soon movie

posted by Cinema_Fever at 04.58 | 9 comments

Nicole Kidman, the Queen of Movie

Nicole Mary Kidman adalah seorang aktris Hollywood yang tidak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Dia lahir di Honolulu, Hawaii 20 Juni 1967 dari seorang biochemist dan psikolog klinik dan seorang instruktur perawat bernama Anthoni dan Janelle Kidman. Dia merupakan pencampuran Amerika dan Australia. Keluarga ini pindah ke Washington DC karena sang ayah melakukan penelitian tentang kanker payudara. Tiga tahun kemudian keluarganya pindah ke Sidney.

Sebelum terjun ke dunia perfilman dan dunia acting, Nicole dulunya sangat mencintai ballet barulah setelah itu dia mengeluti dunia drama dan pantomime. Dan pertunjukan pertamanya adalah saat pertujukan malam natal di sekolahnya. Setelah dewasa dia mengikuti Phil Street Theater untuk menyalurkan bakat aktingya, karena terlalu focus dengan dunia aktingnya ini, Nicole di DO (drop out) dari SMAnya.

Kemunculan pertama cewek berambut merah ini di dunia entertaiment pada tahun 1983 dalam Pat Wilson music video lagu Bop Girl. Saat itu usianya masih 16 tahun dan pada tahun yng sama dia mulai merambah ke dunia pertelevisian lewat serial drama Five Mile Creek, dan juga sudah membintangi film BMX Bandits dan Bush Cristmass. Selain itu, pada tahun 80’an dia sudah banyak muncul di dunia entertainment Australia seperti muncul di opera sabun A Country Practice, film Emerald City, Bangkok Hilton, dan mini series Vietnam.

Sampai tahun 2000an Nicole sudah banyak membintangi film, dan puncaknya pada tahun 2001 saat dia bermain di film Moulin Rouge. Di film ini dia menjadi seorang wanita penghibur di sebuah tempat hiburan. Melalui film ini lah namanya menjadi salah satu nominasi di Academy Award dan mendapat penghargaan sebagai Best Actress in a Leading Role pada Golden Globe Award di tahun 2002. Di tahun yang sama dia memperoleh pengahargaan Academy Award sebagai Best Actress melalui film The Hours. Dan banyak lagi penghargaan yang di dapatnya setelah itu,pada tahun 2003 namanya tercantum di Walk of Fame di Hollywood dan 2006 Nicole menjadi actress dengan bayaran termahal. Ini merupakan bentuk penghargaan yang dia peroleh di dunia acting. Selain di dunia acting, Nicole juga sudah merambah ke dunia tarik suara.

Kemunculan perdananya di dunia tarik suaranya saat dia mengisi soundtrack film Moulin Rouge, di film ini Nicole berkolaborasi dengan lawan mainnya di film Moulin Rouge, Edward McGregor. Dan juga dia berduet dengan Robbie William lewat lagu yang juga menjadi hits, Something stupid. Selain menjadi penyanyi pada tahun 2006 Nicole menjadi salah satu pengisi suara di film animasi Happy Feet.
Sayang, kesuksesan Nicole di dunia entertainment tidak dapat dia peroleh dalam kehidupan pribadinya.

Pada tahun 1990 saat malam natal Tom Cruise menikahi Nicole di Telluride, Collorado. Pada masa pernikahannya ini mereka mengadopsi 2 orang anak, Isabella Jane Kidman-Cruise pada tahun 1992 dan Connor Anthony Kidman-Cruise pada tahun 1995. Saat pernikahan ini berlangsung banyak yang memprediksikan bahwa pasangan ini akan bertahan lama karena keserasian yang mereka lihatkan di depan khalayak. Akan tetapi prediksi itu salah, karena saat usia pernikahan mereka 10 tahun mereka memutuskan untuk berpisah. Padahal saat itu Nicole sedang mengandung 3 bulan, dan mungkin karena mengalami stress karena perpisahannya dengan Tom Cruise dia keguguran.

Tom Cruise dan Nicole resmi bercerai pada tahun 2001, banyak spekulasi yang timbul mengenai penyebab perceraian mereka, ada yang mengatakan Nicole menjalani hubungan terlarang dengan lawan mainnya di film Cold Mountain Jude Law dan alasan karena banyaknya perbedaan diantara mereka berdua yang tidak dapat disatukan.
Setelah perceraiannya dengan Tom Cruise, dia menjalani hubungan asmara dengan Robbie William di tahun 2004,dan juga diberitakan menjalani hubungan dengan pemenang Oscar Adrien Brody. Pada tahun 2004 dia menjalani hubungan dengan seorang musisi Lenny Kravitz, dia dan Kravitz dikabarkan sudah tunangan sayang hubungan ini kandas di tengah jalan. Dan pada tahun 2005 nicole bertemu dengan Keith Urban seorang penyanyi country dan mereka berdua memutuskan untuk menikah di Cardinal Cerretti Memorial Chapel pada 25 juni 2006.

Dan sekarang Nicole sedang mengandung 7 bulan buah hasil pernikahannya yang kedua.
Pada tahun 2008 ini, Nicole membintangi film The Golden Compass, sebuah film yang di adopsi dari novel dengan judul yang sama. The Golden Compass merupakan sebuah film epic yang berbau-bau penyihir. Di film ini Nicole mendapat peran sebagai seorang yang antagonis. Tapi saying film Nicole ini kurang mendapat sambutan yang baik oleh para khalayak walaupun disini dia sudah menontonkan kualitas aktingnya yang menawan.

sumber:
www.wikipedia.com
www.imbd.com

Label: star movie

posted by Cinema_Fever at 03.31 | 2 comments

Movie For Change
Kamis, 04 Juni 2009

Di suatu tempat pada suatu waktu, terjadi sebuah kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh penduduk di tempat tersebut. Mereka diancam dan diganggu. Banyak dari mereka yang menyaksikan keluarga mereka dibunuh. Banyak pula yang menderita akibat siksaan mengerikan. Ribuan nyawa pun berjatuhan. Namun, pelaku kekejaman tersebut berhasil lolos tanpa sanksi sedikitpun. Banyak ditemukan laporan tertulis tentang kejadian itu. Tapi dengan sukses disangkal, dikubur, diabaikan, dan dilupakan. Tapi tidak halnya bila bukti tersebut ada dalam bentuk film fotografis atau rekaman video. Hampir tidak mungkin bagi para penindas bisa lolos dari perbuatannya.

Film sudah menjadi bisnis hiburan yang besar. Hampir setiap bulan di Indonesia bermunculan film-film baru yang tayang di bioskop. Entah itu film komedi, horor, remaja, ataupun film anak-anak, hampir semua dari film-film tersebut dibuat untuk menghibur penonton. Lalu bagaimana dengan sisi perubahan yang ingin dicapai melalui film? Advokasi film jawabannya.

Menurut Gillian Caldwell dalam Video for Change, advokasi film adalah proses mengintegrasikan film ke dalam sebuah usaha advokasi untuk mencapai hasil nyata yang lebih tinggi atau dapat memberi pengaruh pada kampanye. Advokasi adalah proses bekerja untuk sebuah posisi, hasil, atau solusi. Dengan film advokasi, kegunaan film sebagai alat yang esensial dalam aktivisme keadilan sosial, dapat menyebar secara strategis dan efektif dibandingkan bentuk-bentuk advokasi tradisional.

Gerakan yang menginspirasi film advokasi dimulai pada 1930-an dengan nama gerakan dokumentasi sosial. Kemudian pada tahun 1960-an muncul eksperimen cinema verite (bahasa Perancis untuk cinema truth), pembuatan film dokumenter yang berusaha menangkap kejadian dan situasi apa adanya tanpa kontrol penyutradaraan dan editing yang mendominasi. Kemudian gerakan media masyarakat adat, komunitas, dan alternatif pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an.

Dari situlah LSM serta gerakan-gerakan masyarakat mulai menggunakan film untuk memastikan bahwa suara masyarakat bisa terdengar luas tanpa rekayasa. Tidak hanya aktivis, masyarakat pun dapat dilibatkan dalam pembuatan film advokasi. Pembuatan film yang seperti itu disebut dengan film partisipatoris.

Di Indonesia sendiri, pelopor pembuatan film advokasi dimulai oleh organisasi INSIST. Tetapi saat ini sudah banyak LSM dan organisasi kemasyarakatan di seluruh Indonesia yang menggunakan film advokasi karena dianggap efektif.

Bayu Era Sandera adalah salah satu anggota LSM di Bandung. Ia pernah membuat film advokasi tentang air dan sanitasi di lingkungan masyarakat Babakan Siliwangi. Ia juga melibatkan warga dalam pembuatan film tersebut. Menurutnya, film advokasi bisa menyajikan suatu keadaan dari sisi masyarakat asli sendiri.

“Masyarakat pun akan tergerak. Dengan melibatkan mereka dalam pembuatan film, akan meyakinkan mereka bahwa mereka pun bisa bersuara dan membuat perubahan yang mereka usahakan sendiri,” ujar Bayu.

Dani, warga Babakan Siliwangi yang ikut membuat film advokasi juga merasakan manfaatnya. Ia merasa turut berperan aktif dalam perubahan yang diharapkan di lingkungannya.

“Jadi jangan hanya menuntut pemerintah untuk memperhatikan kita. Kita sendiri pun bisa,” tegas Dani.

Film punya suara yang kuat, vital, sekaligus mandiri. Jika kita ingin mencari keadilan, film bisa jadi sarana yang tepat. Dengan film, kita punya kesempatan yang luar biasa untuk mengubah kehidupan. Dengan kamera di tangan aktivis ataupun orang yang mengalami peristiwa tersebut, kita bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini dan semoga perubahan akan terjadi. Jadi, buatlah film untuk sebuah perubahan!

posted by Cinema_Fever at 05.06 | 6 comments

Bioskop Jaman Baheula
Selasa, 02 Juni 2009

Bicara tentang film , rasanya tidak lengkap kalu belum bicara bioskop. Bebeda dengan menonton film lewat alat pemutar cakram (DVD/VCD), bagi sebagian orang menonoton di bioskop punya keasikan tersendiri.Bagi penikmat film sejati, belum lengkap rasanya menonton bila tidak di bioskop. Layar yang lebar serta suara yang menggelegar, membuat orang bisa lebih menghayati isi cerita. Tak jarang, bioskop juga dijadikan ajang berpacaran. Ingat adegan klasik waktu sang laki-laki dan perempuan perlahan berpegangan tangan sambil berpegangan tangan sambil berpura-pura fokus menonton film? Atau waktu menonton film horor ketika sang perempuan ketakutan dan langsung mendekap laki-laki? Wah! karena itu, keberadaan gedung bioskop jadt bagian yang tidak terpisahkan dari dunia film.


Di Bandung sendiri, gedung bioskop sudah lama dikenal sejak masa kolonial Belanda. Pada tahun 1907, berdiri dua bioskop di alun-alun Bandung yaitu “de Crown Bioscoop” dan “Oranje Bioscoop”. Keduanya milik orang Belanda. Pada masa ini bioskop masih dalam bentuk tenda semipermanen.

Sudarsono Katam dan Lulus Abadi dalam Alboem Bandoeng Tempo Doeloe menyebutkan, bioskop-bioskop ini hanya diperuntukkan bagi orang Belanda. Kalaupun ada pribumi, hanya bagi keturunan bangsawan. Sedangkan pribumi asli, hanya bisa menonton di bioskop kelas tiga yang biasa disebut bioskop “misbar” (gerimis bubar).

Peralihan bentuk bioskop dari tenda semipermanen ke gedung permanen terjadi pada 1920-an. Sejak tahun tersebut hingga 1970-an, bioskop makin menjamur di Bandung. Bahkan kawasan alun-alun Bandung sempat jadi kompleks gedung bioskop. Sebut saja Bioskop Elita (Puspita), Aneka (Oriental), Pistren (Nusantara, Varia), serta Dian (Radio City) berada di wilayah itu.

Didi Wijaya (82), penjaga kios di bekas Bioskop Dian mengaku, ia sudah berjualan sejak bioskop Dian dibuka. Di usianya yang sudah lanjut, ia masih dapat mengingat tahun dibangunnya Bioskop Dian yaitu 1945.

“Dulu, alun-alun jadi tempat favorit orang Belanda untuk jalan-jalan dan berkumpul. Makanya, di situ banyak dibangun gedung bioskop,” ujar Didi.

Namun, gedung bioskop pun banyak dibangun di daerah lain. Seperti bioskop Concordia di Braga yang berganti nama menjadi Majestic dan Dewi. “Deca Bioscoop” di Banceuy. Ada juga Bioskop Preanger (Orion, Luxor, Nirmala) di Kebon Jati. Serta Bioskop Al-Hambra di Suniaraja.

Sekretaris Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) Dadan Nugraha mengatakan, banyaknya bioskop yang dibangun di Bandung akibat rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda (sebutan Indonesia pada masa kolonial) dari Batavia ke Bandung.


“Untuk sebuah tempat yang akan dijadikan ibu kota, otomatis segala infrastruktur yang vital harus dipersiapkan. Seperti gedung pemerintahan, bank, kantor pertahanan, termasuk pusat-pusat hiburan,” tambah Dadan.

Bioskop Bandung pada saat itu berada di masa kejayaannya. Gedung yang megah dengan arsitektur yang khas, serta peralatan yang mutakhir, membuat bioskop Bandung dinobatkan sebagai bioskop terbaik di Indonesia.

Sayangnya, masa-masa kejayaan gedung bioskop Bandung telah berakhir. Gedung-gedung tersebut perlahan-lahan ditinggalkan penonton. Saat ini, banyak dari bioskop tua tersebut yang dihancurkan, beralih fungsi, bahkan terbengkalai.

Lihat saja gedung Bioskop Elita, Aneka, dan Pistren di alun-alun Timur, telah dihancurkan dan dibangun gedung perbelanjaan Palaguna Nusantara. Bioskop Dian beralih fungsi menjadi tempat futsal. Begitu juga bioskop Majestic di Braga yang sempat menjadi gedung AACC (Asia Africa Culture Center).

Tidak banyak bioskop tua yang dapat bertahan dan masih berfungsi sebagai tempat menonton film. Itu pun rata-rata memutar film India. Kalau pun ada film Indonesia, paling-paling film “syur” tempo dulu.


Bioskop Taman Hiburan di Cicadas, cukup beruntung karena bisa bertahan cukup lama dan bisa memutar film-film baru. Namun entah kenapa, sekitar tahun 2006 bioskop tersebut tutup dan saat ini kondisinya terbengkalai.

Tentang perlindungan gedung-gedung tua, ujar Dadan, sebenarnya sudah dilindungi lewat Undang-undang th.1992 tentang cagar budaya. Dalam UU tersebut, kewajiban pemeliharaan benda cagar budaya berada di tangan pemilik –baik pemerintah, swasta, ataupun sipil.

“Pemanfaatan bangunan pun tidak boleh sembarangan. Apabila ingin merenovasi atau mengalihfungsikan bangunan, ada aturan-aturan tertentu. Tapi sayang, nampaknya aturan itu belum sepenuhnya berjalan,” kata Dadan.

Ya, bentuk bioskop masa kini sudah tidak dapat dikenali dari gedung-gedung yang berdiri megah. Saat ini bioskop lazim dijumpai sebagai bagian dari bangunan pusat perbelanjaan. Maka keasyikan pergi ke gedung bioskop khusus untuk menonton film pun tak ada lagi.


posted by Cinema_Fever at 02.12 | 15 comments

Pasang Surut Perfilman Indonesia
Tidak terasa, perfilman Indonesia bangkit dari mati surinya sekitar sepuluh tahun belakangan ini. Para sineas bahkan masyarakat pun menunjukan apresiasinya terhadap fenomena yang memang telah dinantikan oleh seluruh pecinta film di tanah air ini. Apakah hal ini akan menjadi tanda bangkitnya perfilman Indonesia?

Setiap tanggal 30 Maret, diperingati sebagai hari Film Nasional oleh insane perfilam di Indonesia. Sebuah momentum yang kerap digunakna untuk menjadi penanda akan eksistensi perfilman Indonesia. Kenapa tanggal ini yang dijadikan sebagai hari Film Nasional? Karena pada tanggak inilah syuting hari pertama film Darah dan Doa karya Usmar Ismail produksi perdana Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikannya pada tahun 1950. Sebenarnya ini bukanlah karya pertama dari Usmar, karena sebelumnya dia telah menyutradarai Film Kredit Harta Karun (1949) dan Tjitra di tahun yang sama.

Darah dan doa pun bukan film nasional pertama, karean semenjak 1926 sudah ada sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi NV Java Film Company. Nah yang jadi pertanyaan kenapa Darah dan Doa yang menjadi tolak ukurnya? Hal ini disebabkan Darah dan Doa lah yang berani mengusut tema yang revolusi fisik bangsa Indonesia dan mampu menghadirkan cita rasa aray representasi nasionalisme sehingga dianggap layak menjadi penanda kelahiran film nasional.

Banyaknya film-film yang bermunculan sekarang ini, menjadi tolak ukur kebangkitan perfilman Indonesia bagi kebanyakan orang. Namun, di satu sisi kita memabg patut mengapresiasi fenomena tersebut. Paling tidak, telah banyak generasi baru sineas yang muncul dan menelurkan karya. Seperti Garin Nugroho, Mira Lesmana, Riri Reza, Nia Dinata, Rizal Mantovani, Rudi Soedjarwo, Hanung Bramantyo, dan sederet nama lain dengan berbagai pilihan genre yang menjadi identitas mereka.

Tetapi hal ini jangan membuat kita semakin terlena dengan maraknya film nasional ini, sehingga kita lengah untuk menjaga konsistensu. Dunia perfilman kita bangkit dan hanya bertahan lima atau maksimal sepuluh tahun. Setelah itu kembali tersungkur bahkan pernah mencapai titik nadir. Sekedar menginggatkan, pada 1941 tercatat ada sekitar 41 judul film nasional. Namun, hal ini tidak bertahan lama, karena sejak 1942-1950 perfilman Indonesia mengalami masa paceklik. Pada tahun 1955 tercatat ada sekitar 65 judul film dan gairah timbul menggelegak beriringan dengan diselenggarakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali.

Sepuluh tahun kemudian, dunia perfilman kita kembali terpuruk bahkan bisa dikatkan mati suri berbarengan dengan kriri politik yang melanda negeri ini. Era 70-an sampai 80-an film kita kembali mengalami grafik peninggatan, hal ini dikarenakan banyak bermunculan film-film bertemakan seks. Dan pasca itu, lagi-lagi dunia perfilman kita terpuruk dan tertidur lelap dan baru terbangunakan oleh gelombang deras era digital di tahun 1990-an.

Diawali dari tahun inilah, industry perfilman kita mulai timbul dan tenggelam. Banyak hal yang menyebabkan perfilman Indonesia memiliki grafik yang naik turun, salah satunya munculnya era reformasi menjadi penyebab muncul dan tenggelamnya perfilman Indonesia. Namun para sineas muda Indonesia tidak kehilangan akal untuk memunculkan kembali perfilman Indonesia. MUnculna tema-tema baru dan dengan penggarapan yang bagus membuat perfilman Indonesia bangkit kembali.

Sayangnya, semakin kesininya tema yang ditawarkan para sineas tersebut hampir memiliki genre film yang serupa. Genre film apa yang banyak menyedot perhatian penonton, genre itulah yang banyak diproduksi. Dari hal ini kita melihat banyak terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas film zaman dahulu dengan zaman sekarang.Seorang pengamat film Indonesia, John, mengungkapkan kegelisahannya mengenai fenomena tersebut.

“Apabila dibandingkan kualitas film antara zaman dahulu dengan zaman sekarang, kita akan melihat perbedaan yang mencolok dari proses pembuatan film tersebut”. Ujarnya.

Apabila ditelisik lebih lanjut, sebenarnya fenomena perkembangan perfilman Indonesia ini hanya merupakan suatu euphoria bagi para sineas maupun masyarakat. Kemudian jufa ketidakberagaman jenis film yang ditawarkan membuat film indonesia masih belum bisa bersaing dengan film-film luar.

Namun dibalik itu semua Indonesia tergolong mempunyai musikalitas yang tinggi, terbukti dengan adanya pencipta-pencipta lagu yang kerap mengisi soundtrack film yang memang memiliki kualitas tinggi di dunia music, seperti Melly Goeslaw.

Selain itu menurut Azis, seorang scriptwriter serta sutradara sinetron, perfilman Indonesia belum menampakan kemajuan yang signifikan. Dari segi kualitam bila dipandang dari perfilamn zaman sekarang, belum bisa belajar dari kualitas zaman dahulu. Yang mana, film-film di era 80-an lebih unggul dari segi kualitas.

Tema-tema perfilman Indonesia sebenarnya sangat beragam, namun semua itu belum terekspos dengan baik. Hal ini terjadi karena di Indonesoa belum menganggap bahwa film itu adalah sesuatu yang dapat mengilhami masyarakat. Sejauh ini film hanya dipandang sebagai suatu kemasan yang hanya perlu dijual saja.

Padahal sebenarnya, selain memiliki unsure sebagai media hiburan, film disini juga berfungsi sebagi media pendidikan dan sebagai media yang dapat mengilhami masyarakat ke depannya. Maka untuk itu juga, diperlukan suatu akses film yang harus diperluas, sehingga perfilman Indonesia kita lebih dikenal dan dianggap penting oleh masyarakat.

posted by Cinema_Fever at 01.02 | 6 comments

Deddy Mizwar, sang aktor legendaris
Senin, 01 Juni 2009


“Apa Kata Dunia?” inilah jargon yang sering disebutkan Nagabonar seorang jendral dari Sumatra Utara. Jika kita lihat dari daftar jendral yang ada di Indonesia, memang kita tidak menemukan jendral yang bernama Nagabonar. Karena memang Nagabonar merupakan tokoh yang ada di dalam film dengan judul yang sama, Nagabonar.

Nagabonar merupakan film lama yang di putar di layar lebar tahun 1987. Nagabonar si pencopet yang terpaksa menjadi Jenderal Lubuk Pakam Medan ini merupakan tokoh rekaraan almarhum Asrul Sani. Dan di tahun 2007, muncul lagi Nagabonar jadi 2 yang merupakan sekuel dari film Nagabonar garapan Asrul Sani ini. Bedanya Nagabonar jadi 2 bukan lagi garapan Asrul Sani, akan tetapi seseorang yang memerankan Nagabonar pada tahun 1987 dan 2007 yaitu Deddy Mizwar.

Deddy Mizwar seorang aktor dan produser yang sudah lama bergelut di dunia perfilman Indonesia. Beliau memulai karirnya di dunia show biz tanah air pada tahun 1976 dengan membintangi film Cinta Abadi garapan sutradara Wahyu Sihombing. Dan pada tahun yang sama juga beliau melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai negri dan mengeluti dunia perfilman dan teater Indonesia.

Pada tahun 1982 namanya muncul sebagai nominasi Festival Film Indonesia (FFI) dari filmnya yang berjudul Bukan Impian Semusim. Dan barulah pada tahun 1986 beliau berhasil meraih penghargaan sebagai Pemain Pria Terbaik dalam Film Arie Hanggara serta Pemain Pembantu Pria terbaik dalam Film Opera Jakarta. Di tahun berikutnya,1987 beliau bermain bersama Nurul Arifin di Film Nagabonar arahan Asrul Sani. Dan dari film Nagabonar ini dia mempertahankan gelar yang sudah di dapatnya tahun lalu di FFI yaitu sebagai Pemain Pria terbaik. Dan banyak lagi penghargaan yang sudah di peroleh Deddy Miswar sendiri sebagai Aktor.


Di dunia perfilman Indonesia, selain menjadi seorang actor, Deddy juga menjadi seorang sutradara dan produser. Di dalam film Kiamat Sudah Dekat dan Nagabonar Jadi 2, selain menjadi pemerannya Deddy juga memproduseri serta menyutradarainya sendiri.

Menurut Ardi, mahasiswa jurusan Hubungan International FISIP Unpad 2005 yang juga merupakan Mantan Ketua Gelanggang Seni Unpad, serta penikmat dunia perfilman,”Deddy Mizwar sebagai sineas film merupakan sesuatu yang komplit, sebagai actor aktingnya bagus, sebagai produser dan sutradara dia juga bagus. Sehingga dalam pengarapan sebuah film dia dapat merambah semuanya, selain itu dia juga mampu membawa sineas muda yang bekerjasama dengannya”.

Secara tidak langsung beliau dapat me-manage dirinya sendiri dan dapat menempatkan dirinya baik sebagai actor, sutradara dan produser. Beliau mampu bekerja secara professional, lihat saja aktingnya sebagai Naga Bonar di film Naga Bonar (jadi) 2, beliau berhasil menciptakan karakter seorang bapak yang sayang kepada anaknya dan juga seorang warga negara yang buta aksara tapi masih peduli dengan bangsanya.


posted by Cinema_Fever at 20.38 | 5 comments