Di suatu tempat pada suatu waktu, terjadi sebuah kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh penduduk di tempat tersebut. Mereka diancam dan diganggu. Banyak dari mereka yang menyaksikan keluarga mereka dibunuh. Banyak pula yang menderita akibat siksaan mengerikan. Ribuan nyawa pun berjatuhan. Namun, pelaku kekejaman tersebut berhasil lolos tanpa sanksi sedikitpun. Banyak ditemukan laporan tertulis tentang kejadian itu. Tapi dengan sukses disangkal, dikubur, diabaikan, dan dilupakan. Tapi tidak halnya bila bukti tersebut ada dalam bentuk film fotografis atau rekaman video. Hampir tidak mungkin bagi para penindas bisa lolos dari perbuatannya.
Film sudah menjadi bisnis hiburan yang besar. Hampir setiap bulan di Indonesia bermunculan film-film baru yang tayang di bioskop. Entah itu film komedi, horor, remaja, ataupun film anak-anak, hampir semua dari film-film tersebut dibuat untuk menghibur penonton. Lalu bagaimana dengan sisi perubahan yang ingin dicapai melalui film? Advokasi film jawabannya.
Menurut Gillian Caldwell dalam Video for Change, advokasi film adalah proses mengintegrasikan film ke dalam sebuah usaha advokasi untuk mencapai hasil nyata yang lebih tinggi atau dapat memberi pengaruh pada kampanye. Advokasi adalah proses bekerja untuk sebuah posisi, hasil, atau solusi. Dengan film advokasi, kegunaan film sebagai alat yang esensial dalam aktivisme keadilan sosial, dapat menyebar secara strategis dan efektif dibandingkan bentuk-bentuk advokasi tradisional.
Gerakan yang menginspirasi film advokasi dimulai pada 1930-an dengan nama gerakan dokumentasi sosial. Kemudian pada tahun 1960-an muncul eksperimen cinema verite (bahasa Perancis untuk cinema truth), pembuatan film dokumenter yang berusaha menangkap kejadian dan situasi apa adanya tanpa kontrol penyutradaraan dan editing yang mendominasi. Kemudian gerakan media masyarakat adat, komunitas, dan alternatif pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an.
Dari situlah LSM serta gerakan-gerakan masyarakat mulai menggunakan film untuk memastikan bahwa suara masyarakat bisa terdengar luas tanpa rekayasa. Tidak hanya aktivis, masyarakat pun dapat dilibatkan dalam pembuatan film advokasi. Pembuatan film yang seperti itu disebut dengan film partisipatoris.
Di Indonesia sendiri, pelopor pembuatan film advokasi dimulai oleh organisasi INSIST. Tetapi saat ini sudah banyak LSM dan organisasi kemasyarakatan di seluruh Indonesia yang menggunakan film advokasi karena dianggap efektif.
Bayu Era Sandera adalah salah satu anggota LSM di Bandung. Ia pernah membuat film advokasi tentang air dan sanitasi di lingkungan masyarakat Babakan Siliwangi. Ia juga melibatkan warga dalam pembuatan film tersebut. Menurutnya, film advokasi bisa menyajikan suatu keadaan dari sisi masyarakat asli sendiri.
“Masyarakat pun akan tergerak. Dengan melibatkan mereka dalam pembuatan film, akan meyakinkan mereka bahwa mereka pun bisa bersuara dan membuat perubahan yang mereka usahakan sendiri,” ujar Bayu.
Dani, warga Babakan Siliwangi yang ikut membuat film advokasi juga merasakan manfaatnya. Ia merasa turut berperan aktif dalam perubahan yang diharapkan di lingkungannya.
“Jadi jangan hanya menuntut pemerintah untuk memperhatikan kita. Kita sendiri pun bisa,” tegas Dani.
Film punya suara yang kuat, vital, sekaligus mandiri. Jika kita ingin mencari keadilan, film bisa jadi sarana yang tepat. Dengan film, kita punya kesempatan yang luar biasa untuk mengubah kehidupan. Dengan kamera di tangan aktivis ataupun orang yang mengalami peristiwa tersebut, kita bisa menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini dan semoga perubahan akan terjadi. Jadi, buatlah film untuk sebuah perubahan!
Posting Komentar